Ada
beberapa orang kini yang belum percaya pada software buatan lokal,
padahal apabila semua orang di Indonesia menggunakan jasa Software
House Indonesia, akan sangat mendukung sekali untuk perkembangan
produk Software buatan Indonesia. Banyak Software House Indonesia
yang akhirnya gulung tikar karena jarangnya proyek, cenderung orang
lebih suka menggunakan produk-produk asing.
Kelemahan
perkembangan Software buatan Indonesia dikarenakan tidak adanya
keterbukaan antara programmer satu dengan programmer yang lain.
Kebanyakan produknya dilindungi dan tidak bersifat open source. Padahal
apabila dibuat open source pasti cenderung akan lebih cepat
berkembang, dikarenakan yang mengembangkan menjadi lebih banyak orang,
seperti sifatnya open source (terbuka sumbernya) jadi orang lain
dapat mengembangkanya. Tidak usah khawatir tentang keterbukaan, karena
orang kreatif tidak bakalan kehilangan ide, pasti akan muncul
ide-ide lain, dan itu akan memunculkan inovasi baru. Dan janganlah
memonopoli suatu produk tertentu, karena perkembanganya akan sulit.
Biarkanlah ide kita dikembangkan oleh orang lain, dan orang lain
mengembangkanya lagi, sehingga tercipta suatu estafet yang
menghasilkan produk yang lebih unggul, dan bermanfaat bagi orang
banyak terutama untuk Indonesia tercinta.
Berita Sejenis
Trend perkembangan software
Kalau
bicara soal trend, tidak bisa di ramalkan. Peramalan trend dipenuhi
dengan kesukaran. Dengan mengabaikan sikap hati – hati, sejak lima
kepemimpinan di negeri ini. Dalam pengembangan software menawarkan apa
yang mereka harapkan belum menjadi trend perkembangan Software
Development di Negara ini. Banyak alasan, mulai dari regulasi yang
mengekang produk production house (khususnya para programmer), ketidak
tegasan pemerintah dalam memotivasi para komunitas IT dan pembangunan
infrastruktur yang belum siap.
Dua
tema memotong ke seberang bidang-bidang yang memanfaatkan sumber
luar akan terus memberikan efek ke lebih banyak lagi orang, dan
tester, manajer proyek dan analisa bisnis akan perlu mempelajari
bagaimana cara menghadapi tantangan dari penyalur (distribusi). Juga,
perkembangan yang cepat akan bertambah populer, sementara percobaan
dan kebutuhan rancang bangun akan perlu menemukan tempat mereka di
lingkungan tersebut.
Read/WriteWeb membuat sebuah artikel menarik yang berjudul “The Future of Software Development“.
Pada artikel tersebut dibahas bagaimana pengembangan perangkat lunak
di masa depan dengan sedikit meninjau kembali metode software
development yakni waterfall dan agile. Rasanya seperti kuliah RPL
lagi. Kesimpulan yang diambil pada tulisan tersebut adalah
pengembangan perangkat lunak di masa depan akan menggunakan bahasa
pemrograman high level, dukungan library, dan metode agile.
Untungnya,
berbeda dengan kuliah Rekayasa Perangkat Lunak (Software
Engineering) yang dosennya Pak Romi Satrio Wahono, kali ini saya
nggak ngantuk.
Sepertinya, apa yang ada di tulisan tersebut mulai saya rasakan di lingkungan sekitar.
Mengenai
pemilihan bahasa pemrograman high level, menurut saya banyak
benarnya. Mengambil contoh diri sendiri, saat ini saya lebih tertarik
‘bergaul’ dengan Java (mata kuliah Object Oriented Programming,
kebetulan yang ngajar Pak Romi juga). Sepanjang mata memandang,
teman-teman saya sepertinya juga begitu. Pemrograman high level itu
rasanya seperti memakai fasilitas mewah.
Kalau
ditarik lebih luas lagi, saya melihat ada kecenderungan kurangnya
peminat untuk mempelajari hal-hal yang low level pada saya kuliah S1.
Kuliah Pemrograman Sistem, Jaringan Komputer, Sistem Operasi,
Organisasi dan Arsitektur Komputer jadi momok. Saya nggak tahu apakah
ada ‘faktor lain’. Tapi yang jelas, salah seorang dosen di kampus
saya pernah mengeluhkan hal itu di kelas. Apa hal ini disebabkan oleh
perkembangan zaman atau karena mahasiswa sekarang malas-malas?
Mungkin ini menjadi sesuatu yang harus disayangkan. Tapi apa perlu?
Saya suka bertanya-tanya sendiri. Emang perlu ya mendalami semua itu?
Kalau berpikir secara ideal sih, pasti perlu. Setiap ilmu pasti ada
manfaatnya.
Kembali
ke topik awal, bagaimana dengan library yang udah banyak tersedia?
Menurut saya itu bener banget. Mengambil contoh diri sendiri lagi,
kemarin saya baru aja minta kode sebuah aplikasi bikinan temen saya,
buat suatu bagian di program buat tugas akhir. Saya berpikir, daripada
bikin sendiri, mending pakai yang udah ada. Contoh lain, saat tulisan
ini dibuat, teman saya yang lain, juga menemukan framework yang
bakal ngurangin sebagian besar kerjaannya. Hal-hal seperti ini sering
terjadi. Sepertinya segalanya udah ada diciptakan, tinggal bagaimana
kita membuat kolaborasinya dan nambah-nambahin sedikit.
Terakhir,
terkait agile, saya gak terlalu banyak komentar. Agile erat
kaitannya dengan iterasi. Saya belum pernah merasakan iterasi yang
bener-bener iterasi, tapi mengenai requirement yang terus berubah
saya beneran pernah ngerasain. Dari situ saya kenal refactoring.
Senang rasanya melihat fitur itu kepasang di sejumlah tools.
Metode
pengembangan perangkat lunak Agile ini mungkin cocok diterapkan di
Indonesia karena kegesitannya, iteratif dan mampu beradaptasi dengan
perubahan yang sering terjadi pada proyek perangkat lunak. Bukankan
karakteristik perangkat lunak di Indonesia cenderung berubah, mulai
dari proyeknya sampai kebutuhan user? (Proyek perangkat lunak memang
menyebalkan, karena user atau customer dapat melakukan perubahan
requirement
Trend Software Open Source
Pemerintahan
di seluruh dunia saat ini sedang tertular demam open source, sebuah
software yang mengijinkan mereka untuk melihat dan memodifikasi
source codenya, tidak seperti proprietary software seperti yang
dibuat oleh Microsoft. Namun pertanyaanya apakah trend global ini
akan terus berlanjut? Jawabannya tergantung pada beberapa faktor yang
merintangi penyebaran gerakan open source ini.
Salah
satu rintangannya adalah awal pengembangan teknologinya yang lebih
banyak berorientasi pada server dari pada aplikasi desktop, selain itu
adanya oposisi yang dilakukan oleh Microsoft (perusahaan software
yang paling dominan di dunia) yang menempatkannya sebagai perusahaan
yang paling terpukul jika pemerintahan beramai-ramai beralih ke
produk open source.
Saat
ini produk open source yang paling terkenal adalah Linux yang mana
pada acara LinuxWord baru-baru ini di California terus-menerus
mempromiskan Linux dan terus melakukan pengembangsan produk. Dan makin
banyak pembuat software yang mempatenkan idenya sebagai software
open source dan membuat persaingan makin seru.
Beberapa
tahun belakangan, “U.N. World Summit on the Information Society”
(WSIS) menjadi event yang paling diperhatikan oleh negara-negara
berkembang. Dari deklarasi WSIS terlihat tawaran-tawaran solusi
software open source untuk negara-negara berkembang. Dan isunya sudah
mencapai ke agenda pemerintahan multilateral yang mana sebagian besar
memiliki persepsi yang sama bahwa software open source lebih murah
dan lebih mudah daripada produk proprietary.
Hal
tersebut juga diperhatikan oleh “Organization for Economic
Cooperation and Development”, yang menganjurkan penggunaan teknologi
open source dalam petunjuk cyber-security-nya. Selain itu “World
Intellectual Property Organization” berencana mengadakan pertemuan
untuk membicarakan hal yang sama tahun depan. Sedangkan pada pertemuan
“Asia Pacific Economic Cooperation” (APEC) di Thailand, Amerika
mendorong pemerintahan agar tidak ikut campur dan menyerahkan pilihan
pada pasar apakah mau menggunakan software open source atau
proprietry.
Meskipun
muncul persaingan menghadapi software open source ini, industri
teknologi Amerika mengakui secara signifikan adanya evolusi dibidang
industri ini. Pemain-pemain besar seperti IBM, Intel dan Oracle, telah
mengakomodasi open source dalam produk dan service-nya. Asosiasi
industri amerika (”U.S. industry trade associations”) makin serius
membahas tentang propriety dan open source ini.
Posisi
pemerintah Amerika terhadap open source juga mencerminkan adanya
perpecahan dalam industri dan sudah menjadi pandangan Amerika bahwa
dalam pertarungan internasional, hukum seharusnya tidak menentukan
teknologi mana yang seharusnya digunakan, apakah itu open source atau
propriety. Menurut mereka pemerintahan seharusnya netral dalam
investasi. Mereka juga menambahkan bahwa US tidak menghalangi gerakan
open source namun memberikan keduanya (baik software open source
maupun proprietary) kesempatan yang sama dan silakan anda pilih mana
yang lebih baik, lebih cepat dan lebih cost effective. Dan sepertinya
banyak industri dan pemerintahan yang setuju akan hal tersebut.
Pemerintahan
diseluruh penjuru dunia saat ini sedang beramai-ramai mengadopsi
produk open source, namun usaha untuk membuat peraturan yang
mengunggulkan penerapan open source banyak yang digagalkan.
Uni
Eropa dan banyak negara di Eropa termasuk Austria, Belgia, Bulgaria,
Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Itali, Belanda,
Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan Ingris telah
memperlihatkan dukungannya kepada open source, sebagai contoh
pemerintahan Spanyol yang secara resmi mengadopsi software open
source dan memutuskan serta meminta agar departemen-departemen
pemerintahan tertentu untuk menggunakan free software, keputusanya
diimplemantisakan di musim semi 2003.
Sedangkan
“Department of Communications, Information Technology and the Arts”
Australia baru-baru ini menyatakan bahwa pemerintah tidak membutuhkan
hukum dan guideline dalam pemakaian software karena sudah menjadi
kewajibannya untuk mempertimbangkan segala opsi dan memilih mana yang
pantas. Dan mereka mengatakan usulan “Australian Unix Users Group”
(AUUG) mengenai “open source procurement guidelines” (yang kalo
diterapkan implikasinya manaruh hati pada open source) dianggapnya
tidak perlu. Sedangkan Darren Sommers, dari “Herbert Geer and Rundle
Lawyers”, menyatakan proposal AUUG hanyalah guidelines dan tetap
membutuhkan dukungan legislasi untuk membuatnya memiliki kekuatan.
Di
Asia, pemerintah korea bersama-sama dengan jepang dan china juga
sedang mempertimbangkan pemakaian open source dalam penelitian dan
usaha pengembangan, bahkan china sendiri telah mengadopsi open source.
Menurut “Gartner Australia”, yang paling tertarik dalam penggunaan
Linux di kawasan Asia Pacific adalah Australia, Jepang, China dan
Korea. Dan momentum ini datang dari pihak pemerintah bukan dari
enterprise. Berbeda dengan Singapore yang tidak mempertimbangakn
penggunaan Linux secara meluas di pemerintahan seperti yang dinyatakan
oleh “Infocomm-Development Authority (IDA) of Singapore” (pembuat
peraturan dibagian indistri teknologi). Dan menurut “Gartner
Australia” Singapore memang lebih dekat ke Microsoft dan perusahaan
tradisonal pengembang software komersial lainnya. Namun IDA sekarang
telah memasukkan Linux sebagai opsi untuk tender dan kontrak
pemerintah. Sedangkan di Malaysia, perdana menteri Mahathir Mohamad
tertarik terhada software open source dan menganjurkan pelayan sipil
untuk mengadopsinya.
Industri
Amerika memperhatikan perkembangan internasional ini dan tidak segan
berkomunikasi secara langsung bila sudah menyangkut peraturan,
legislasi, dan kebijakan pemerintah. “Association for Competitive
Technology”, yang mana Microsoft menjadi anggotanya, telah
mempertanyakan “peraturan yang menentukan pemilihan teknologi” apakah
melanggar hukum WTO. Dan “Initiative for Software Choice (ISC)”,
koalisi yang dioperasikan oleh “Computer and Telecommunications
Industry Association (CompTIA)” yang juga ada Microsoft dalam daftar
anggotanya, terus mengamati perkembangan “open source legislative”.
Baru-baru
ini, asosiasi perdagangan open source yang bernama “Open Source and
Industry Alliance”, dibentuk di Washington sebagai serangan balik
terhadap manuver-manuver Microsoft. Dan mereka menekankan bahwa isu
sebenarnya adalah mengenai Linux. Apa yang Microsoft inginkan adalah
mengalahkan Linux dan menciptakan keraguan akan penjualan dan
pendistribusian Linux.
Namun
sebenarnya kunci pengadopsian produk open source juga terletak pada
sikap pemerintahan dalam membuat keputusan. Namun dunia industri
kelihatannya selalu berebut opini bahwa menilai keunggulan software
harus fair dan pemerintah seharusnya memilih produk yang paling sesuai
dengan kebutuhannya tidak berdasarkan pada emosional.
Di
Brasil, sejak Luiz Inacio Lula da Silva dari partai buruh menjabat
presiden mulai januari 2003 lalu, dukungan pemerintah terhadap open
source makin kuat. Dan baru-baru ini disana diadakan “Legislative Free
Software Week” yang berlangsung dari 18-22 Agustus 2003 yang diadakan
oleh “Federal Senate”. Dalam event tersebut terlihat bahwa
pemerintahan Brasil tidak hanya berlarut-larut dalam diskusi mengenai
penggunaan free software namun mengambil langkah-langkah nyata dalam
penerapannya untuk pemerintahan. Bahkan anggota kongres dari partai
buruh, Walter Pinheiro, menyatakan bahwa “kongres akan menunjukkan
bahwa pembeli software terbesar, yaitu pemerintah, menggunakan free
software dan ini mungkin akan menjadi contoh yang baik bagi yang
lain”. Dan Pinheiro juga mengatakan bahwa “House of Representatives”
tidak akan memperbaharui Microsof office nya yang senilah US $1.3
juta dan sedang mempelajari alternatif free software“nya, dan
selanjutnya akan mengganti sistem email-nya dengan produk free
sosftware.
Sedangkan
di Amerika tidak ada hukum mengenai open source yang dapat dijadikan
model oleh industri, namun pihak CompTIA lebih menyukai hukum di New
Zealand, yang pada initinya menjelaskan bahwa dalam membeli software
harus berdasarkan cost, fungsi, security, dan kemampuannya dalam
bekerja dengan sistem lain.
Dibulan
april 2003, “Center of Open Source and Government” yang berada di
“George Washington University”, menyatakan bahwa kecurigaan yang
dibangun industri software proprietary hanya berusaha agar pemerintahan
tidak membuat hukum yang mempertimbangkan open source. Dan pihak
“Center of Open Source and Government” setuju dengan pernyataan
eksplisit pemerintah Afrika Selatan yang melegitimasi open source dan
memerintahkan lembaga-lembaga pemerintah untuk memimpin program open
source. Selain itu mereka juga menyetujui pernyataan Afrika Selatan
bahwa beberapa ketetapan yang menguatkan open source dibutuhkan sampai
open source memiliki kekuatan kompetitif yang sama dengan software
proprietry, dan mendukung pengakuan Afrika Selatan bahwa produk
opensource memiliki keuntungan sosial dan sekaranglah waktu untuk
mengadopsinya